HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK REMAJA DENGAN GANGGUAN POLA TIDUR
Remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Periode transisi merupakan periode dimana remaja suka mencoba sesuatu yang baru demi mencari identitas diri, seperti mencoba rokok, narkoba dan sebagainya (Kemala, 2007). Sejumlah studi menemukan penghisapan rokok pertama dimulai pada usia 11-13 tahun karena rasa ingin tahu yang kuat, pengaruh lingkungan sosial seperti modelling (orang tua, keluarga dan teman sebaya) menjadi salah satu determinan dalam memulai perilaku merokok.
Remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Periode transisi merupakan periode dimana remaja suka mencoba sesuatu yang baru demi mencari identitas diri, seperti mencoba rokok, narkoba dan sebagainya (Kemala, 2007). Sejumlah studi menemukan penghisapan rokok pertama dimulai pada usia 11-13 tahun karena rasa ingin tahu yang kuat, pengaruh lingkungan sosial seperti modelling (orang tua, keluarga dan teman sebaya) menjadi salah satu determinan dalam memulai perilaku merokok.
Seorang remaja pria cenderung untuk
memiliki kebutuhan dan mendapatkan pengakuan agar diterima dalam suatu kelompok
yang diharapkannya, meskipun ia harus melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan perilaku hidup yang sehat seperti merokok, narkoba dan sebagainya. Masa
remaja sering kali dianggap masa kritis yang menentukan apakah nantinya kita
menjadi perokok atau bukan (Bustan, 2000).
Pengaruh nikotin dalam rokok dapat membuat
seseorang menjadi pecandu atau ketergantungan pada rokok. Remaja yang sudah
kecanduan merokok tidak dapat menahan keinginan untuk tidak merokok, mereka
cenderung sensitif terhadap efek dari nikotin (Parrot, 2007). Ketergantungan
nikotin menyebabkan seorang perokok harus menghisap rokok terus-menerus dan
menimbulkan berbagai akibat terhadap tubuh, salah satunya adalah insomnia
(Sanchi, 2009).
Insomnia merupakan gangguan untuk
memperoleh keadaan tidur yang maksimal, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Akibat dari insomnia dapat berupa penurunan kualitas hidup. Penelitian di
Jepang oleh Ohida dkk pada tahun 2004 menunjukkan beberapa faktor risiko
terjadinya gangguan tidur, yaitu jenis kelamin, siswa tingkat SMU, dan gaya
hidup yang tidak sehat (stres psikologis, merokok dan minum alkohol).
Semakin muda usia seseorang memulai
konsumsi rokok, maka semakin panjang durasi merokoknya dan makin besar beban
merokok untuk berkembang menjadi penyakit. Seorang perokok sedang berat
memiliki resiko 9,375 kali lebih besar untuk
mengalami insomnia dibandingkan perokok ringan. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi durasi tidur dan insomnia, dan merokok merupakan salah satu faktor
penting yang sering ditemukan pada laki-laki.
DAMPAK MEROKOK BAGI KESEHATAN GIGI DAN RONGGA MULUT
Sumber Referensi:
DAMPAK MEROKOK BAGI KESEHATAN GIGI DAN RONGGA MULUT
Merokok telah menjadi gaya hidup bagi sebagian kalangan
masyarakat di Indonesia. Bahkan beberapa perokok aktif lebih mencari rokok
mereka daripada sekedar makan makanan yang lain ketika waktu luang. Padahal
kita tahu bahwa merokok merupakan suatu kebiasaan dengan tingkat perusak cukup tinggi
bagi kesehatan. Mayoritas kabar yang kita tahu pula bahwa merokok akan membawa
dampak negatif bagi saluran pernapasan saja seperti gangguan paru-paru. Namun
ternyata, merokok selain menimbulkan efek secara sistemik dapat pula
menyebabkan timbulnya kondisi patologis di rongga mulut khususnya gigi dan
jaringan lunak. Kondisi patologis dalam rongga mulut yang juga sering ditemukan
pada perokok antara lain karies akar, halitosis atau bau mulut, periimplantitis,
dan penurunan fungsi pengecapan.
Dampak merokok terhadap gigi dan rongga mulut dapat dilihat antara
lain terjadinya radang gusi, penyakit periodontal, karies akar, alveolar
bone loss, tooth loss, serta berhubungan dengan munculnya lesi-lesi khas
pada jaringan lunak rongga mulut. Dalam sebuah artikel pun tertulis bahwa
komponen toksik dalam rokok dapat mengiritasi jaringan lunak rongga mulut yang
menyebabkan terjadinya infeksi mukosa, dry socket, memperlambat
penyembuhan luka, memperlemah kemampuan fagositosis, menekan proliferasi
osteoblas, serta dapat mengurangi asupan aliran darah ke gingiva.
Tar, nikotin, dan karbonmonoksida merupakan tiga zat kimia yang
paling berbahaya dalam asap rokok dimana ketika rokok dihisap, tar masuk
ke rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin uap tersebut akan menjadi
padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran napas,
dan paru-paru. Paparan asap rokok dalam jangka waktu cukup lama juga dapat menyebabkan kerusakan pada bagian mukosa
mulut yang terpapar, penebalan menyeluruh pada bagian epitel mulut, bahkan
dapat menimbulkan bercak putih keratotik yang menandakan leukoplakia dan kanker
mulut.
Selain itu, merokok
dapat mengganggu kinerja saliva yang berperan dalam proteksi gigi sehingga
justru akan meningkatan angka kejadian karies. Pada penelitian lain menyatakan
bahwa terdapat perebedaan kapasitas buffering saliva pada perokok aktif
dan pasif yang berkaitan dengan resiko terjadinya karies. Perlu kita ketahui
bahwa resiko terjadinya kehilangan gigi pada perokokaktif tiga kali lebih
tinggi dibanding pada perokok pasif.
Nahh bagaimana ? Apakah masih ingin menghisap racun ? Sumber Referensi:
- Novitasari, M., Wowor, V., & Kaunang, W. 2014. Gambaran Tingkat Pengetahuan Siswa SMA Negeri 1 Manado tentang Dampak Merokok Bagi Kesehatan Gigi dan Mulut. Jurnal e-Gigi. 2(2).
- Diba, C., Bany, Z., & Sunnati. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dampak Merokok Terhadap Kesehatan Rongga Mulut dengan Status Kebersihan Rongga Mulut (Remaja Desa Cot Mesjid Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh). Jurnal Caninus Dentistry. 1(4).
- Komasari, D., Helmi, A. 2000. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Remaja. Jurnal Psikologi. 1 : 37-47.
- Putri K. 2019. Pengaruh Merokok Terhadap Kesehatan Gigi Dan Rongga Mulut. Majalah Ilmiah Sultan Agung. 49(124): 1-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar